Pada 22 Juli 2025, Gedung Putih merilis detail kesepakatan tarif resiprokal antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia. Dalam perjanjian ini, AS sepakat menurunkan tarif resiprokal untuk Indonesia dari 32% menjadi 19%, sementara Indonesia berkewajiban menghapus 99% tarif atas produk asal AS. Pemerintah Indonesia memandang hasil ini sebagai “perjuangan yang luar biasa” dan mengklaimnya sebagai “kemenangan” karena berhasil memperoleh tarif 19%, yang disebut sebagai tarif terendah di antara negara- negara ASEAN.
Namun, CORE menilai detail kesepakatan yang dipublikasikan Gedung Putih justru menunjukkan biaya negosiasi yang sangat mahal bagi Indonesia. Menurut CORE, kerugian muncul dalam tiga aspek utama: (1) ekspor Indonesia ke AS diperkirakan berkurang hingga USD 9,23 miliar; (2) kewajiban menghapus berbagai hambatan non-tarif yang berpotensi melemahkan industri manufaktur domestik; dan (3) ketimpangan komitmen yang berpotensi merugikan pelaku industri lokal.
Bagi Indonesia, penerapan tarif resiprokal diperkirakan menurunkan kesejahteraan nasional sebesar –USD 3,16 miliar. Penurunan ini terutama disebabkan oleh berkurangnya konsumsi ekspor Indonesia di pasar AS, yang memangkas surplus produsen, khususnya pada produk-produk utama yang diekspor ke AS. Dampak ini juga tercermin pada perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,77 persen, disinyalir akibat penurunan ekspor.
Melemahnya aktivitas ekonomi berpotensi menekan daya beli masyarakat sekaligus meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama di sektor padat karya yang bergantung pada pasar ekspor AS.
Seperti apakah dampak kesepakatan tarif baru Indonesia-AS terhadap perekonomian Indonesia? Apa saja rekomendasi alternatif yang ditawarkan CORE Indonesia?
Baca selengkapnya COREinsight edisi 9 Agustus 2025 “Biaya Mahal Negoisasi Tarif” dengan klik lampiran di bawah ini