Core Indonesia

09Sep

Industrial Policy in Indonesia: A Global Value Chain Perspective

The gains of a country participation in global value chain are influenced, among others, by industrial policies, and an understanding of both policy leverage and risks is imperative.

This paper traces the evolution of industrial policies in Indonesia from a global value chain (GVC) perspective. Using the mineral sector as a mini case study, the paper assesses the Indonesian Government’s recent effort to boost domestic value addition in the sector. It argues that the effectiveness of government policies in maximizing the gains from GVC participation depends not only on policy design, but also on policy consistency and coherence, effective implementation, and coordination.

You can download it from this link http://www.adb.org/publications/industrial-policy-indonesia-global-value-chain-perspective

09Sep

Mendobrak Inersia Pemulihan Ekonomi

CORE Policy Review Edisi April mengangkat tema ‘Mendobrak Inersia Pemulihan Ekonomi’ Tahun 2021 digadang-gadang menjadi tahun pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah menargetkan ekonomi tumbuh hingga mencapai 5%. Selama tiga bulan pertama tahun ini, beberapa indikator makro, seperti kinerja ekspor-impor dan industri manufaktur, sudah menunjukkan perbaikan. Sayangnya, beberapa indikator lain khususnya yang terkait dengan tingkat konsumsi serta kinerja sektor pariwisata, masih belum begitu menggembirakan, padahal mobilitas orang dan kendaraan sudah mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan periode-periode awal pandemi tahun lalu.

Untuk mengetahui analisanya, silahkan unduh kajian nya dengan cara klik “Attachment” di bawah

09Sep

Ekonomi Digital dalam Perspektif Transformasi Ekonomi Indonesia

Buku ini kami persembahkan sebagai wujud kepedulian kami akan pentingnya transformasi ekonomi Indonesia dengan akselerasi digital. Sebagai lembaga think-tank di bidang ekonomi, CORE Indonesia berpandangan bahwa penerapan teknologi digital penting sebagai enabler driver terhadap peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam upaya pembangunan ekonomi

Sumbangsih pemikiran para ahli di bidangnya tertuang dalam buku ini yang menyoroti tentang transformasi digital Indonesia dalam hal urgensi, tantangan, dan prospek. Buku ini juga membedah mengenai keberlanjutan dan inklusi digital menyambut ekonomi baru. Selain itu, peran negara dalam memajukan ekonomi digital juga turut serta dibahas dalam buku ini. Dari sisi keuangan digital, buku ini membahas terkait aset kripto, dan investasi pada start-up digital. 

Selain itu, terdapat pembahasan  mengenai penerapan teknologi digital pada pemerintahan (e-government), sektor pertanian, pendidikan, logistik, dan pelayanan kesehatan di Indonesia (e-health). Selanjutnya, bahasan buku ini ditutup dengan tantangan digitalisasi di Indonesia dari perspektif keamanan siber dan perlindungan data pribadi, serta harapan terbangunnya infrastruktur ekonomi digital nasional yang efektif, efisien, dan inklusif. 

Berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan. Meski demikian, sebagaimana sifat karakter teknologi yang terus berkembangm maka transformasi digital adalah jalan panjang dan proses yang berkelanjutan, Maka dari itu diperlukan komitmen kolektif untuk membangun sistem digital yang komprehensif dan terintegrasi.

09Sep

CORE Midyear Economic Review 2024

Memasuki paruh kedua tahun 2024, perekonomian Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. Ketidakpastian pasar keuangan global, tekanan pada neraca perdagangan, perlambatan daya beli, dan tekanan pada pasar tenaga kerja menjadi tantangan yang signifikan untuk ekonomi Indonesia. Selain itu kita juga dihadapkan pada defisit fiskal yang semakin melebar bersamaan dengan tekanan pada sektor keuangan akibat kebijakan moneter higher for longer yang disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah.

Tantangan-tantangan ini semakin krusial mengingat Indonesia sedang memasuki fase transisi menuju pemerintahan baru. Kemudian bagaimana Indonesia menavigasi ancaman dan peluang prekonomian saat ini? Simak analisa kami dalam Policy Brief yang telah disusun oleh tim peneliti CORE Indonesia.

09Sep

[CORE QUARTERLY REVIEW 2024 : TANTANGAN EKONOMI DI TENGAH TRANSISI PEMERINTAHAN]

Dalam konteks ketegangan geopolitik global yang semakin meningkat, perekonomian domestik menghadapi indikasi perlambatan ekonomi. Sementara itu, kebijakan fiskal yang diharapkan menjadi shock absorber dihadapkan pada terbatasnya ruang fiskal untuk  mengakomodir visi pemerintahan baru. Ramuan kebijakan moneter pun belum mampu membendung depresiasi nilai tukar rupiah. Bagaimana tinjauan ekonomi awal tahun 2024 dan mitigasi apa yang seharusnya perlu diperhatikan pemerintah. Untuk mendiskusikannya, CORE Indonesia kembali mengadakan Webinar Quarterly Review 2024 bertema “Tantangan Ekonomi Di Tengah Transisi Pemerintah”. 

Webinar ini bisa disaksikan secara online pada :

Hari/Tanggal : Kamis, 25 April 2024 

Waktu : 12.00-15.00 WIB 

melalui zoom meeting atau livestreaming youtube CORE Indonesia di bawah ini :

Zoom Meeting

Meeting ID: 881 2314 0676

Passcode: 737198

Youtube Live

https://www.youtube.com/@COREINDONESIAOfficial/streams

Atas partisipasi rekan-rekan dan sahabat CORE kami ucapkan terima kasih.

09Sep

Defisit APBN 2,2 Persen, Ekonom: Wajar Saat Ekonomi Melambat

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menjelaskan, pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga melebihi dua persen di tengah perlambatan perekonomian global saat ini merupakan kondisi wajar. Sebab, kondisi perlambatan di sejumlah negara memberikan dampak pada ekonomi Indonesia, terutama pada penerimaan pajak.

Piter memproyeksikan, shortfall pajak atau melesetnya penerimaan pajak dari target sampai akhir tahun dapat mencapai Rp 250 triliun. Angka ini melebihi realisasi shortfall 2018, yakni 108,1 triliun. “Ini menyebabkan defisit APBN  melebar, sampai 2,2 persen,” tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (19/12).

Piter menambahkan, pelebaran defisit yang dialami Indonesia pun terbilang aman. Sebab, nilainya masih jauh di bawah batasan tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan target defisit APBN pada UU APBN 2019 adalah 1,84 persen dari PDB. Angka ini kemudian diubah oleh Kemenkeu pada Oktober menjadi 2,0 hingga 2,2 persen dari PDB.

Berdasarkan data realisasi APBN yang dirilis Kemenkeu, tercatat bahwa defisit sampai akhir November mencapai 2,29 persen. Angka ini kemudian menurun menjadi 2,21 persen per 13 Desember. Bahkan, Piter menuturkan, batasan tersebut sudah terlalu hati-hati. Hal ini mengingat besaran utang pemerintah tidak pernah beranjak dari kisaran 30 persen terhadap PDB. “Jadi, tidak ada masalah dengan melebarnya defisit hingga kisaran 2,1 persen PDB,” katanya.

Alih-alih defisit APBN, Piter menjelaskan, poin yang seharusnya menjadi concern pemerintah adalah tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi. Tahun ini, diperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh di bawah 5,1 persen, atau jauh dari target 5,3 persen. Piter menuturkan, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, terutama untuk keluar dari jebakan middle income. Hal ini dapat tercapai dengan melonggarkan fiskal, seperti memberikan banyak insentif pajak sembari meningkatkan belanja. “Artinya, pemerintah by design melebarkan defisit atau disebut kebijakan kontra siklus,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, posisi defisit APBN sampai akhir tahun akan berada di tingkat 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini merupakan batasan atas proyeksi terbaru Kemenkeu, yaitu 2,0 sampai 2,2 persen. Tapi, sudah melampaui batas defisit pada Undang-Undang APBN 2019 yang hanya 1,84 persen. Berdasarkan catatan Kemenkeu, defisit APBN per akhir November telah menyentuh 2,29 persen atau Rp 368,9 triliun. Angka ini kemudian menurun menjadi 2,21 persen pada 13 Desember. Melihat tren ini, Sri memproyeksikan, tingkat defisit APBN tidak akan mencapai 2,3 persen.

“Arahnya tidak mendekati ke 2,3 persen, justru ke 2,2 persen. Ini hal penting,” tutur Sri dalam konferensi pers pemaparan Kinerja dan Fakta APBN di kantornya, Jakarta, Kamis (19/12). Penurunan defisit dari November ke pertengahan Desember ini dikarenakan adanya kenaikan penerimaan pendapatan dan optimalisasi belanja. Pendapatan negara tercatat tumbuh 0,9 persen pada akhir November (yoy), di tengah tekanan eksternal pada perekonomian domestik. Per 13 Desember, pertumbuhan pendapatan tersebut meningkat menjadi 1,6 persen (yoy) karena perbaikan kondisi sektor riil. Di sisi lain, Sri menambahkan, belanja negara mampu tumbuh 5,3 persen (yoy). Hal ini didukung dengan peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) tumbuh mencapai 5,0 persen (yoy), di atas pertumbuhan 2018 yang hanya 2,5 persen.

09Sep

[PRESS RELEASE CORE QUARTERLY REVIEW 2024] “TANTANGAN EKONOMI DI TENGAH TRANSISI PEMERINTAHAN”

Menjelang transisi pemerintahan, CORE Quarterly Review 2024 menghadirkan sorotan tajam tentang tantangan ekonomi yang dihadapi. Kunjungi link atau scan qr code untuk dapatkan Press Release CORE Quarterly Review 2024.

Atas partisipasi rekan-rekan dan sahabat CORE kami ucapkan terima kasih.

CORE Indonesia (Center of Reform on Economics)

Gedung CORE Indonesia

Jalan Tebet Barat Dalan Raya No.76A

Jakarta 12810

Telp : 021-50101414

Email: info@coreindonesia.org

Web: www.coreindonesia.org

Twitter: @COREIndonesia

Instagram : core_indonesia

Facebook: Core.Indonesia

Youtube : CORE Indonesia

Linkedin : Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia

08Aug

Biaya Kuliah Tinggi, Tinggi Sekali

Menciptakan generasi muda yang cerdas adalah untuk keberlanjutan bangsa lintas generasi. Jika tidak, bangsa itu akan terancam mundur.

Sayangnya, dukungan pemerintah masih belum memadai. Padahal semestinya pemerintah ‘at all cost’ dalam pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebab pendidikan adalah kunci utama mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jika kondisinya sudah seperti itu, apa alternatif kebijakan yang tepat?

17Jul

Reorientasi Tata Kelola Pangan

Kekhawatiran akan krisis pangan di tengah hantaman pandemi Covid-19 menjadi alasan pemerintahan Jokowi membangun Food Estate. Kekhawatiran muncul selepas Badan Pangan Dunia (FAO) memperingatkan akan terjadi krisis pangan yang diakibatkan oleh terganggunya perdagangan dan kelancaran distribusi. Terlebih lagi, negara pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam membatasi ekspornya karena dilanda kekeringan.

Langkah pemerintah membangun food estate di tengah pandemi sontak menuai polemik. Selain karena membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, juga ditinjau dari sejarahnya, food estate selalu berujung gagal. Food estate pertama kali dibangun pada pemerintahan Soeharto melalui Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare di Kalimantan Tengah. Proyek yang sudah menghabiskan dana 2 triliun pada masa itu berakhir gagal. Ketidaksesuaian lahan serta sosial budaya menjadi penyebabnya.

Food estate pada pemerintah SBY yang dibangun di Ketapang dan Bulungan juga berakhir gagal. Kegagalan tersebut disebabkan karena ketidaksesuaian kondisi sosial budaya serta belum tersedianya infrastruktur pendukung. Petani-petani transmigran yang didatangkan dari berbagai daerah mengalami kesulitan bertahan hidup akibat rendahnya produksi. Begitupun juga dengan warga lokal yang tidak memiliki pengetahuan mendalam mengenai budidaya padi (Nurmawati, 2015).

Kegagalan food estate rupanya tidak sampai disitu. Program pencetakan sawah seluas 1,2 juta hektare di Merauke atau dikenal MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) pada awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga tidak berhasil. Pembangunan MIFEE berdampak negatif terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat mengalami kesulitan mencari bahan makanan seperti sagu dan daging rusa setelah hutan-hutannya dikonversi.

Ubah Orientasi

Meskipun demikian, program food estate dengan model bisnis korporasi petani ini justru dimasukkan kedalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Bahkan, anggaran ketahanan pangan pada 2021 nanti cenderung menitikberatkan pada pembangunan food estate. Hal ini menandakan bahwa pemerintah masih menaruh harapan besar terhadap food estate sebagai solusi jitu untuk menggenjot produksi pangan.

Beras yang merupakan pangan pokok mayoritas masyarakat Indonesia selalu menjadi perhatian di setiap pemerintahan. Beras sangat strategis karena menjadi salah satu penentu kestabilan politik, ekonomi dan sosial, karena itu, produksi beras menjadi tolak ukur yang sangat penting terkait dengan ketersediaan pangan Indonesia.

Namun, kebijakan “beras sentris” ini menimbulkan prahara dan ketidakadilan bagi masyarakat lokal terutama yang tidak mengkonsumsi beras. Masyarakat lokal terpaksa kehilangan lahannya dan menjadi termarjinalkan.

Kebijakan yang mengorbankan kehidupan masyarakat lokal demi dapat memenuhi kebutuhan pangan mayoritas penduduk bukanlah perwujudan dari asas keadilan. Keadilan bukanlah keadilan apabila diperuntukkan hanya untuk masyarakat terbanyak dan memarjinalkan masyarakat minoritas (Rawls, 1971)

Jika ditinjau dari aspek keadilan lingkungan pun, food estate akan mengancaman kelestarian dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Rusaknya lahan gambut akibat Proyek PLG di masa lalu, kini harus ditebus mahal dengan rusaknya ekosistem gambut serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya eskalasi bencana, sudah saatnya kita mengubah orientasi dalam pengelolaan pangan di Indonesia. Pemenuhan pangan tidak mesti dilakukan dalam skala besar-besaran oleh korporasi, melainkan dilakukan petani-petani dengan skala kecil, terlokalisasi dan terkoordinasi, termasuk melalui wadah koperasi.

Selain itu, pembangunan pertanian skala besar membutuhkan investasi yang tidak sedikit, menuntut dibuatnya regulasi khusus dan mendorong konversi hutan besar-besaran. Hal tersebut berbeda dengan pertanian berskala kecil dan terlokalisasi yang tidak membutuhkan investasi besar-besaran dan berkeadilan dalam aspek sosial maupun lingkungan.

Sebetulnya, untuk meningkatkan produksi pangan tidak mesti hanya dengan food estate. Ada beberapa upaya lain yang dapat ditempuh yakni, pertama, meningkatkan produksi dengan optimalisasi lahan existing terutama di pulau Jawa. Upaya intensifikasi ini perlu didukung dengan upaya penyuluhan yang intensif dan masif seperti pada masa Rencana Pembangunan Lima Tahun pada masa Orde Baru. Selain itu, upaya tersebut perlu dukungan pemodalan yang ramah sektor pertanian dan ketersediaan informasi dan teknologi yang mendukung.  

Kedua, pemerintah membuat sistem insentif yang adil untuk petani. Salah satunya adalah menjadikan sektor pertanian sebagai sektor yang menjanjikan bagi para pekerja di sektor tersebut. Dengan demikian, jumlah petani akan meningkat, setidaknya tidak mengalami penurunan secara persisten dalam jumlah yang masif.

Ketersediaan tenaga kerja tersebut akan ikut menopang peningkatan produksi komoditas pertanian.  Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga pembelian jagung, dari semula Rp 1.000/kg menjadi Rp 3.150/kg pada 2016 mampu mendorong kenaikan produksi jagung nasional. Kenaikan harga pembelian tersebut disambut antusias oleh petani. Hampir semua lahan yang kosong ditanami jagung, bahkan ada petani di Yogyakarta yang menanam jagung di area pemakaman. Antusiasme petani ini berhasil meningkatkan produksi jagung dan bahkan dapat mengekspor ke Filipina.

Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa jika harga yang diterima petani menjanjikan kesejahteraan, maka pemerintah tidak perlu lagi bersusah payah dan mengeluarkan banyak biaya untuk membangun food estate yang menuai polemik dan belum diketahui tingkat keberhasilannya. Pemerintah hanya perlu mendukung para petani dengan membuat sistem insentif yang berkeadilan dan menyejahterakan petani.

Selain itu, pemenuhan pangan saat ini semestinya tidak lagi sebatas untuk mencapai ketahanan pangan semata, tetapi harus mengarah menuju berdaulat pangan. Penyediaan pangan harus dilakukan secara mandiri mengingat saat ini dunia menunjukkan tanda-tanda de-globalisasi. Pandemi Covid-19 saat ini menjadi pembelajaran berharga bahwa kita harus berdikari dan tidak bergantung pada pangan impor dalam memenuhi kebutuhan domestik.