Tren peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia sudah melampaui Tiongkok, tempat pandemi bermula. Tercatat, total kasus Covid-19 di Indonesia per 23 Juli mencapai 91,7 ribu dan menempatkan Indonesia di urutan ke-24 di dunia. Di tengah pelonggaran yang dilakukan oleh pemerintah sejak bulan Juni lalu, tentu penambahan kasus beberapa hari ini menjadi dilema pemerintah: memulihkan ekonomi atau menurunkan risiko penularan yang konsekuensinya membuat aktivitas ekonomi lebih lambat.
Pandemi Covid-19 telah berdampak nyata pada perlambatan ekonomi. Pada triwulan I 2020, pertumbuhan ekonomi Tiongkok, misalnya, terkontraksi 6,8 persen. Sedangkan Amerika Serikat melambat menjadi 0,3 persen dan Indonesia 2,97 persen.
Terkoreksinya pertumbuhan ekonomi tidak hanya berpotensi menghilangkan lapangan kerja, namun juga meningkatkan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2020 meningkat menjadi 9,7 persen atau 26,4 juta orang. Angka tersebut hampir menyamai jumlah penduduk miskin pada September 2017 silam. Rupanya, upaya menurunkan tingkat kemiskinan selama 2,5 tahun terakhir hilang dalam sekejap setelah pandemi menghantam Indonesia beberapa bulan lalu.
Jika dilihat berdasarkan daerah, jumlah penduduk miskin di perkotaan bertambah sebesar 1,3 juta orang dari September 2019, sedangkan di pedesaan bertambah 330 ribu jiwa. Penambahan angka kemiskinan di perkotaan lebih tajam dibandingkan desa. Hal ini disebabkan oleh penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah terutama perkotaan yang menyebabkan aktivitas terhenti.
Adapun daerah penyumbang terbesar kenaikan penduduk miskin di perkotaan adalah Jawa Barat, yaitu 460,2 ribu orang, disusul DKI Jakarta (376,6 ribu jiwa), Jawa Timur (243,9 ribu jiwa), dan Jawa Tengah (203,4 ribu jiwa).
Fenomena peningkatan penduduk miskin di perkotaan ini harus menjadi perhatian pemerintah. Sebab, penurunan kemiskinan di kota relatif lebih lambat dibandingkan di pedesaan. Rata-rata penurunan tingkat kemiskinan pada tahun 2011-2019 di perkotaan hanya sebesar 0,6 persen sedangkan di pedesaan mencapai 1,4 persen per tahun.
Apalagi jika pandemi berlangsung lebih lama dan jaringan pengaman sosial untuk masyarakat terdampak terlambat dan bahkan tidak cukup, besar kemungkinan jumlah penduduk miskin akan terus bertambah, terutama di perkotaan. Berdasarkan perhitungan CORE, perkiraan penambahan penduduk miskin pada triwulan II menurut skenario berat sebesar 5,1 juta orang, 8,25 juta orang skenario lebih berat dan 12,3 juta orang skenario sangat berat.
Kendala Program
Untuk mengantisipasi lonjakan pengangguran dan kemiskinan, pemerintah sebetulnya telah mengerahkan beragam bantuan sosial (Bansos), dari Program Keluarga Harapan (PKH), Bansos Jabodetabek, BLT Dana Desa hingga Kartu Pra Kerja. Total anggaran yang telah disiapkan pemerintah untuk bansos pun mencapai RP 203 triliun. Sayangnya, realisasi anggaran Bansos per 8 juli 2020 masih rendah. Hanya mencapai 36,2 persen dari total anggaran. Realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan realisasi bansos pada semester I 2019 yang mencapai 72,6 persen. Artinya, kinerja penyaluran bansos pada tahun lalu lebih baik dibandingkan dengan tahun ini. Padahal, saat ini kebutuhan masyarakat akan bansos sangat mendesak, terutama bagi warga yang terdampak di perkotaan.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang marak terjadi di kota-kota besar tentu akan berdampak kepada peningkatan kemiskinan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah menyiapkan program semi bansos yakni Kartu Pra Kerja, di mana penerima manfaat harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu untuk mendapatkan insentif.
Namun, dalam kondisi krisis seperti saat ini, program Kartu Pra Kerja dihadapkan dengan beragam permasalahan yang menghambat penyaluran. Pertama, ada keterbatasan dalam sistem pelatihan online dalam menampung peserta. Jumlah pendaftar yang lolos dan berhak mengikuti pelatihan selama tiga gelombang kemarin hanya 680 ribu orang. Sistem hanya mampu melatih peserta sebanyak 226 ribu orang pada setiap gelombangnya. Dengan adanya keterbatasan tersebut, pemerintah akan kesulitan mencapai target penerima manfaat sebesar 5,6 Juta orang hingga akhir tahun nanti.
Kedua, terjadi keterlambatan penyaluran insentif paska pelatihan untuk peserta yang telah selesai mengikuti pelatihan. Lamanya pencairan tersebut disebabkan karena proses verifikasi yang masih manual, sehingga membutuhkan waktu beberapa hari kerja. Keterlambatan ini menyulitkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di samping itu, berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditemukan bahwa jumlah pekerja yang terkena PHK dan mendaftarkan diri mengikuti program Kartu Pra Kerja hanya 143 ribu orang atau 8,4 persen dari total pekerja yang terkena PHK (KPK, 2020). Padahal program ini diperuntukkan bagi para pekerja yang terkena PHK.
Selain itu, bansos sembako yang ditujukkan bagi warga Jabodetabek pun banyak dikeluhkan. Pasalnya, ada beberapa jenis sembako yang tidak sesuai dengan kebutuhan keluarga penerima manfaat dan tidak jarang pula ada beberapa produk yang kualitasnya kurang memadai. Pun besaran bansos sembako yang diturunkan dari Rp 600 ribu per bulan menjadi Rp 300 ribu per bulan hingga Desember nanti, menimbulkan kekhawatiran tidak cukup memenuhi kebutuhan mengingat kondisi yang masih belum pulih.
Serupa dengan bansos sembako, bansos tunai non jabodetabek pun diturunkan menjadi Rp 300 ribu per bulan. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi warga yang tinggal di daerah yang masih menerapkan kebijakan pembatasan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Langkah Perbaikan
Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, langkah perbaikan serius diperlukan untuk mengakselerasi penyaluran bansos. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi data antar Kementerian dan Lembaga. Misalnya, data pekerja yang terkena PHK disinkronkan dengan data kependudukan dan data perbankan. Cara ini akan memudahkan verifikasi serta mempercepat penyaluran insentif Kartu Pra Kerja.
Kedua, pemerintah dapat melonggarkan syarat utama penerima manfaat Kartu Pra Kerja dengan tidak mewajibkan mengikuti pelatihan online. Bagi para penerima manfaat yang ingin mengikuti pelatihan online, maka aturan tidak berubah. Namun, bagi yang tidak ingin mengikuti pelatihan online, dana satu juta rupiah untuk pelatihan online dapat diuangkan. Sebagai gantinya, mereka harus mengikuti pelatihan secara tatap muka di Balai Latihan Kerja setempat saat kondisi sudah memungkinkan.
Ketiga, pemerintah perlu mengubah skema penyaluran bansos sembako untuk warga Jabodetabek menjadi bansos tunai berupa uang dengan nilai yang sama seperti bulan-bulan sebelumnya. Adanya peralihan dari bansos berupa sembako ke dalam bentuk uang akan mendorong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini akan menciptakan multiplier effect yang akan berdampak pada penciptaan lapangan usaha dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Keempat, pemerintah sebaiknya lebih memfokuskan penyaluran bansos di daerah-daerah tertentu yang terdampak Covid-19 paling parah, yakni Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi selatan dan Kalimantan Selatan. Karena itu, sebaiknya bansos difokuskan di daerah-daerah tersebut dengan menyasar penduduk miskin dan rentan miskin di perkotaan. Meredam lonjakan kemiskinan dengan skema bansos yang tepat merupakan pilihan terbaik agar upaya pengentasan kemiskinan di kemudian hari tidak sulit.