Core Indonesia

17Jul

Reorientasi Tata Kelola Pangan

Kekhawatiran akan krisis pangan di tengah hantaman pandemi Covid-19 menjadi alasan pemerintahan Jokowi membangun Food Estate. Kekhawatiran muncul selepas Badan Pangan Dunia (FAO) memperingatkan akan terjadi krisis pangan yang diakibatkan oleh terganggunya perdagangan dan kelancaran distribusi. Terlebih lagi, negara pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam membatasi ekspornya karena dilanda kekeringan.

Langkah pemerintah membangun food estate di tengah pandemi sontak menuai polemik. Selain karena membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, juga ditinjau dari sejarahnya, food estate selalu berujung gagal. Food estate pertama kali dibangun pada pemerintahan Soeharto melalui Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare di Kalimantan Tengah. Proyek yang sudah menghabiskan dana 2 triliun pada masa itu berakhir gagal. Ketidaksesuaian lahan serta sosial budaya menjadi penyebabnya.

Food estate pada pemerintah SBY yang dibangun di Ketapang dan Bulungan juga berakhir gagal. Kegagalan tersebut disebabkan karena ketidaksesuaian kondisi sosial budaya serta belum tersedianya infrastruktur pendukung. Petani-petani transmigran yang didatangkan dari berbagai daerah mengalami kesulitan bertahan hidup akibat rendahnya produksi. Begitupun juga dengan warga lokal yang tidak memiliki pengetahuan mendalam mengenai budidaya padi (Nurmawati, 2015).

Kegagalan food estate rupanya tidak sampai disitu. Program pencetakan sawah seluas 1,2 juta hektare di Merauke atau dikenal MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) pada awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga tidak berhasil. Pembangunan MIFEE berdampak negatif terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat mengalami kesulitan mencari bahan makanan seperti sagu dan daging rusa setelah hutan-hutannya dikonversi.

Ubah Orientasi

Meskipun demikian, program food estate dengan model bisnis korporasi petani ini justru dimasukkan kedalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Bahkan, anggaran ketahanan pangan pada 2021 nanti cenderung menitikberatkan pada pembangunan food estate. Hal ini menandakan bahwa pemerintah masih menaruh harapan besar terhadap food estate sebagai solusi jitu untuk menggenjot produksi pangan.

Beras yang merupakan pangan pokok mayoritas masyarakat Indonesia selalu menjadi perhatian di setiap pemerintahan. Beras sangat strategis karena menjadi salah satu penentu kestabilan politik, ekonomi dan sosial, karena itu, produksi beras menjadi tolak ukur yang sangat penting terkait dengan ketersediaan pangan Indonesia.

Namun, kebijakan “beras sentris” ini menimbulkan prahara dan ketidakadilan bagi masyarakat lokal terutama yang tidak mengkonsumsi beras. Masyarakat lokal terpaksa kehilangan lahannya dan menjadi termarjinalkan.

Kebijakan yang mengorbankan kehidupan masyarakat lokal demi dapat memenuhi kebutuhan pangan mayoritas penduduk bukanlah perwujudan dari asas keadilan. Keadilan bukanlah keadilan apabila diperuntukkan hanya untuk masyarakat terbanyak dan memarjinalkan masyarakat minoritas (Rawls, 1971)

Jika ditinjau dari aspek keadilan lingkungan pun, food estate akan mengancaman kelestarian dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Rusaknya lahan gambut akibat Proyek PLG di masa lalu, kini harus ditebus mahal dengan rusaknya ekosistem gambut serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya eskalasi bencana, sudah saatnya kita mengubah orientasi dalam pengelolaan pangan di Indonesia. Pemenuhan pangan tidak mesti dilakukan dalam skala besar-besaran oleh korporasi, melainkan dilakukan petani-petani dengan skala kecil, terlokalisasi dan terkoordinasi, termasuk melalui wadah koperasi.

Selain itu, pembangunan pertanian skala besar membutuhkan investasi yang tidak sedikit, menuntut dibuatnya regulasi khusus dan mendorong konversi hutan besar-besaran. Hal tersebut berbeda dengan pertanian berskala kecil dan terlokalisasi yang tidak membutuhkan investasi besar-besaran dan berkeadilan dalam aspek sosial maupun lingkungan.

Sebetulnya, untuk meningkatkan produksi pangan tidak mesti hanya dengan food estate. Ada beberapa upaya lain yang dapat ditempuh yakni, pertama, meningkatkan produksi dengan optimalisasi lahan existing terutama di pulau Jawa. Upaya intensifikasi ini perlu didukung dengan upaya penyuluhan yang intensif dan masif seperti pada masa Rencana Pembangunan Lima Tahun pada masa Orde Baru. Selain itu, upaya tersebut perlu dukungan pemodalan yang ramah sektor pertanian dan ketersediaan informasi dan teknologi yang mendukung.  

Kedua, pemerintah membuat sistem insentif yang adil untuk petani. Salah satunya adalah menjadikan sektor pertanian sebagai sektor yang menjanjikan bagi para pekerja di sektor tersebut. Dengan demikian, jumlah petani akan meningkat, setidaknya tidak mengalami penurunan secara persisten dalam jumlah yang masif.

Ketersediaan tenaga kerja tersebut akan ikut menopang peningkatan produksi komoditas pertanian.  Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga pembelian jagung, dari semula Rp 1.000/kg menjadi Rp 3.150/kg pada 2016 mampu mendorong kenaikan produksi jagung nasional. Kenaikan harga pembelian tersebut disambut antusias oleh petani. Hampir semua lahan yang kosong ditanami jagung, bahkan ada petani di Yogyakarta yang menanam jagung di area pemakaman. Antusiasme petani ini berhasil meningkatkan produksi jagung dan bahkan dapat mengekspor ke Filipina.

Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa jika harga yang diterima petani menjanjikan kesejahteraan, maka pemerintah tidak perlu lagi bersusah payah dan mengeluarkan banyak biaya untuk membangun food estate yang menuai polemik dan belum diketahui tingkat keberhasilannya. Pemerintah hanya perlu mendukung para petani dengan membuat sistem insentif yang berkeadilan dan menyejahterakan petani.

Selain itu, pemenuhan pangan saat ini semestinya tidak lagi sebatas untuk mencapai ketahanan pangan semata, tetapi harus mengarah menuju berdaulat pangan. Penyediaan pangan harus dilakukan secara mandiri mengingat saat ini dunia menunjukkan tanda-tanda de-globalisasi. Pandemi Covid-19 saat ini menjadi pembelajaran berharga bahwa kita harus berdikari dan tidak bergantung pada pangan impor dalam memenuhi kebutuhan domestik.

17Jul

Refocusing Anggaran dan Percepat Vaksinasi

Melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia membuat keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit rujukan nasional terus meningkat. Bahkan 5 dari 6 provinsi di Pulau Jawa, BOR nya sudah diatas 80%. Selain itu, lebih dari 24 Kabupaten/Kota melaporkan bahwa keterisian ruang isolasi sudah diatas 90 persen, sedangkan BOR untuk ICU mendekati angka 100% (IDI, 2021). Lonjakan kasus yang semakin tidak terkendali ditengah keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia akan membuat fasilitas kesehatan diambang kolaps.  

Total kasus Covid-19 di Indonesia per 1 Juli 2021 mencapai 2,17 juta jiwa. Epidemiolog UI, Pandu Riono menyebutkan bahwa Indonesia sudah memasuki gelombang kedua dan tengah bersiap menuju puncaknya. Pembatasan mobilitas masyarakat, vaksinasi dan herd immunity merupakan cara untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19 (Jamaludin dkk,2020). 

Selain itu, kedisiplinan individu dalam menaati protokol kesehatan juga tidak kalah efektinya. Negara lain seperti Taiwan, Korea Selatan dan Swedia tidak melakukan pembatasan yang ketat untuk menekan laju penyebaran karena masyarakatnya memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam menaati protokol kesehatan. Masyarakatnya juga dilibatkan dan diberdayakan dalam pencegahan penyebaran virus.

Sementara di Indonesia, tingkat kepatuhan dalam menjalankan protokol kesehatan malah menujukkan penurunan dalam beberapa bulan terakhir. Rendahnya tingkat disiplin ini membahayakan orang lain, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, lansia serta yang memilki penyakit penyerta. Oleh karena itu, pembatasan mobilitas masyarakat yang berskala besar terutama di pulau jawa dan mempercapat vaksinasi merupakan opsi yang harus ditempuh.

Sayangnya, opsi pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mendapat penolakan dari pemerintah. Hal ini disebabkan karena membutuhkan anggaran yang relatif besar, yakni sekitar 550 miliar per hari untuk satu daerah. Padahal, anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) 2021 naik 0,6% dibandingkan PEN 2020. Realisasi PEN per 18 Juni 2021 pun baru mencapai 32,4% atau 226 Triliun rupiah dari Pagu 699 Triliun rupiah. Artinya, ruang fiskal pemerintah masih fleksibel untuk merespon kondisi darurat seperti pemberlakuan PSBB di daerah tertentu.

Selain itu, realisasi vaksinasi pun belum mencapai target.  Per 29 Juni 2021, cakupan vaksinasi tahap 1 sudah mencapai 71%, sementara tahap 2 hanya 33% dari target 40,3 juta jiwa. Upaya percepatan vaksinasi masih terkendala kekurangan tenaga medis dan merebaknya hoaks seputar vaksin. Hoaks ini sangat merugikan karena dapat menggerus tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin dan masyarakat menjadi enggan di vaksin.

Refocusing

Per 3 juli 2021 hingga dua pekan kedepan, pemerintah akan memberlakukan PPKM Mikro darurat yang mana lebih ketat dibandingkan PPKM Mikro. Banyaknya istilah yang dikeluarkan pemerintah ini dikhawatirkan membingungkan masyarakat. Alangkah bijaknya, jika pemerintah tidak menggunakan banyak istilah agar masyarakat mudah memahami maksud pemerintah.

Tahun lalu, pemerintah menerapkan skema PSBB yang mana lebih ketat dan bahkan lebih efektif dari PPKM Mikro. Pemerintah pun sebaiknya menggunakan skema PSBB yang diterapkan di daerah yang lonjakan kasusnya tinggi serta fasilitas kesehatannya diambang kolaps, semisal DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Lampung.

Adapun untuk daerah lainnya, PPKM Mikro dapat menjadi opsi dengan tetap tegas menaati protokol kesehatan dalam berbagai aktivitas. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu khawatir mengeluarkan banyak anggaran untuk membiayai PSBB, karena tidak semua daerah menerapakan itu. Anggaran perlindungan sosial dan insentif lainnya dapat difokuskan untuk daerah yang melakukan PSBB.

Sebagai informasi, anggaran perlindungan sosial pada tahun ini memang mengalami penurunan, hanya Rp 148 T. Padahal pada tahun 2020 mencapai Rp 230 T. Sementara itu, anggaran program prioritas  (padat karya kementerian/lembaga, food estate, pariwisata dan lainnya) justru mengalami kenaikan menjadi Rp 127,8 T dari Rp 67,8 T. Refocusing anggaran terutama pada kedua pos tersebut perlu segera dilakukan untuk merespon kondisi darurat. Belanja-belanja seperti pembangunan infrastruktur yang belum terlalu mendesak, dapat ditunda untuk sementara waktu.

Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan percepatan vaksinasi demi tercapainya kekebalan kelompok (herd immunity) pada akhir 2021 nanti. Keterbatasan tenaga medis dapat dilakukan dengan melibatkan relawan di daerah atau mahasiswa kedokteran, dokter gigi dan perawat yang telah dilatih untuk membantu percepatan vaksinasi. Hal serupa juga dilakukan di Inggris, dimana para mahasiswa di bidang kesehatan dilatih untuk mendukung vaksinasi massal.

Sedangkan untuk menepis kesimpangsiuran terkait hoaks vaksin dapat dilakukan dengan sosialisasi yang masif, repetitif dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Vaksin yang ada saat ini memang tidak menjamin seseorang menjadi kebal terhadap virus Covid-19. Akan tetapi, dengan vaksinasi setidaknya dapat mengurangi tingkat keparahan dan kematian akibat Covid-19.

Dalam menghadapi ujian pandemi ini diperlukan kolaborasi serta kelapangan hati berbagai pihak dalam merespon berbagai situasi. Kesehatan harus tetap diprioritaskan. Saat kesehatan masyarakat sudah pulih, maka aktivitas perekonomian pun akan berangsur pulih.

17Jul

Urgensi Membenahi Skema Penyaluran Bansos

Tren peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia sudah melampaui Tiongkok, tempat pandemi bermula. Tercatat, total kasus Covid-19 di Indonesia per 23 Juli mencapai 91,7 ribu dan menempatkan Indonesia di urutan ke-24 di dunia. Di tengah pelonggaran yang dilakukan oleh pemerintah sejak bulan Juni lalu, tentu penambahan kasus beberapa hari ini menjadi dilema pemerintah: memulihkan ekonomi atau menurunkan risiko penularan yang konsekuensinya membuat aktivitas ekonomi lebih lambat.

Pandemi Covid-19 telah berdampak nyata pada perlambatan ekonomi. Pada triwulan I 2020, pertumbuhan ekonomi Tiongkok, misalnya, terkontraksi  6,8 persen. Sedangkan Amerika Serikat melambat menjadi 0,3 persen dan Indonesia 2,97 persen.

Terkoreksinya pertumbuhan ekonomi tidak hanya berpotensi menghilangkan lapangan kerja, namun juga meningkatkan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2020 meningkat menjadi 9,7 persen atau 26,4 juta orang. Angka tersebut hampir menyamai jumlah penduduk miskin pada September 2017 silam.  Rupanya, upaya menurunkan tingkat kemiskinan selama 2,5 tahun terakhir hilang dalam sekejap setelah pandemi menghantam Indonesia beberapa bulan lalu.

Jika dilihat berdasarkan daerah, jumlah penduduk miskin di perkotaan bertambah sebesar 1,3 juta orang dari September 2019, sedangkan di pedesaan bertambah 330 ribu jiwa. Penambahan angka kemiskinan di perkotaan lebih tajam dibandingkan desa. Hal ini disebabkan oleh penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah terutama perkotaan yang menyebabkan aktivitas terhenti.

Adapun daerah penyumbang terbesar kenaikan penduduk miskin di perkotaan adalah Jawa Barat, yaitu 460,2 ribu orang, disusul DKI Jakarta (376,6 ribu jiwa), Jawa Timur (243,9 ribu jiwa), dan Jawa Tengah (203,4 ribu jiwa).

Fenomena peningkatan penduduk miskin di perkotaan ini harus menjadi perhatian pemerintah. Sebab, penurunan kemiskinan di kota relatif lebih lambat dibandingkan di pedesaan. Rata-rata penurunan tingkat kemiskinan pada tahun 2011-2019 di perkotaan hanya sebesar 0,6 persen sedangkan di pedesaan mencapai 1,4 persen per tahun.

Apalagi jika pandemi berlangsung lebih lama dan jaringan pengaman sosial untuk masyarakat terdampak terlambat dan bahkan tidak cukup, besar kemungkinan jumlah penduduk miskin akan terus bertambah, terutama di perkotaan. Berdasarkan perhitungan CORE, perkiraan penambahan penduduk miskin pada triwulan II menurut skenario berat sebesar 5,1 juta orang, 8,25 juta orang skenario lebih berat dan 12,3 juta orang skenario sangat berat. 

Kendala Program

Untuk mengantisipasi lonjakan pengangguran dan kemiskinan, pemerintah sebetulnya telah mengerahkan beragam bantuan sosial (Bansos), dari Program Keluarga Harapan (PKH), Bansos Jabodetabek, BLT Dana Desa hingga Kartu Pra Kerja. Total anggaran yang telah disiapkan pemerintah untuk bansos pun mencapai RP 203 triliun. Sayangnya, realisasi anggaran Bansos per 8 juli 2020 masih rendah. Hanya mencapai 36,2 persen dari total anggaran. Realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan realisasi bansos pada semester I 2019 yang mencapai  72,6 persen. Artinya, kinerja penyaluran bansos pada tahun lalu lebih baik dibandingkan dengan tahun ini. Padahal, saat ini kebutuhan masyarakat akan bansos sangat mendesak, terutama bagi warga yang terdampak di perkotaan.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang marak terjadi di kota-kota besar tentu akan berdampak kepada peningkatan kemiskinan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah menyiapkan program semi bansos yakni Kartu Pra Kerja, di mana penerima manfaat harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu untuk mendapatkan insentif.

Namun, dalam kondisi krisis seperti saat ini, program Kartu Pra Kerja dihadapkan dengan beragam permasalahan yang menghambat penyaluran. Pertama, ada keterbatasan dalam sistem pelatihan online dalam menampung peserta. Jumlah pendaftar yang lolos dan berhak mengikuti pelatihan selama tiga gelombang kemarin hanya 680 ribu orang. Sistem hanya mampu melatih peserta sebanyak 226 ribu orang pada setiap gelombangnya. Dengan adanya keterbatasan tersebut, pemerintah akan kesulitan mencapai target penerima manfaat sebesar 5,6 Juta orang hingga akhir tahun nanti.

Kedua, terjadi keterlambatan penyaluran insentif paska pelatihan untuk peserta yang telah selesai mengikuti pelatihan. Lamanya pencairan tersebut disebabkan karena proses verifikasi yang masih manual, sehingga membutuhkan waktu beberapa hari kerja. Keterlambatan ini menyulitkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Di samping itu, berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditemukan bahwa jumlah pekerja yang terkena PHK dan mendaftarkan diri mengikuti program Kartu Pra Kerja hanya 143 ribu orang atau 8,4 persen dari total pekerja yang terkena PHK (KPK, 2020). Padahal program ini diperuntukkan bagi para pekerja yang terkena PHK.

Selain itu, bansos sembako yang ditujukkan bagi warga Jabodetabek pun banyak dikeluhkan. Pasalnya, ada beberapa jenis sembako yang tidak sesuai dengan kebutuhan keluarga penerima manfaat dan tidak jarang pula ada beberapa produk yang kualitasnya kurang memadai. Pun besaran bansos sembako yang diturunkan dari Rp 600 ribu per bulan menjadi Rp 300 ribu per bulan hingga Desember nanti, menimbulkan kekhawatiran tidak cukup memenuhi kebutuhan mengingat kondisi yang masih belum pulih.

Serupa dengan bansos sembako, bansos tunai non jabodetabek pun diturunkan menjadi Rp 300 ribu per bulan. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi warga yang tinggal di daerah yang masih menerapkan kebijakan pembatasan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Langkah Perbaikan

Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, langkah perbaikan serius diperlukan untuk mengakselerasi penyaluran bansos. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi data antar Kementerian dan Lembaga. Misalnya, data pekerja yang terkena PHK disinkronkan dengan data kependudukan dan data perbankan. Cara ini akan memudahkan verifikasi serta mempercepat penyaluran insentif Kartu Pra Kerja.

Kedua, pemerintah dapat melonggarkan syarat utama penerima manfaat Kartu Pra Kerja dengan tidak mewajibkan mengikuti pelatihan online. Bagi para penerima manfaat yang ingin mengikuti pelatihan online, maka aturan tidak berubah. Namun, bagi yang tidak ingin mengikuti pelatihan online, dana satu juta rupiah untuk pelatihan online dapat diuangkan. Sebagai gantinya, mereka harus mengikuti pelatihan secara tatap muka di Balai Latihan Kerja setempat saat kondisi sudah memungkinkan.

Ketiga, pemerintah perlu mengubah skema penyaluran bansos sembako untuk warga Jabodetabek menjadi bansos tunai berupa uang dengan nilai yang sama seperti bulan-bulan sebelumnya. Adanya peralihan dari bansos berupa sembako ke dalam bentuk uang akan mendorong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini akan menciptakan multiplier effect yang akan berdampak pada penciptaan lapangan usaha dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Keempat, pemerintah sebaiknya lebih memfokuskan penyaluran bansos di daerah-daerah tertentu yang terdampak Covid-19 paling parah, yakni Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi selatan dan Kalimantan Selatan.  Karena itu, sebaiknya bansos difokuskan di daerah-daerah tersebut dengan menyasar penduduk miskin dan rentan miskin di perkotaan. Meredam lonjakan kemiskinan dengan skema bansos yang tepat merupakan pilihan terbaik agar upaya pengentasan kemiskinan di kemudian hari tidak sulit.

17Jul

Makroprudensial dan Kredit UMKM

Sejarah mencatat bahwa UMKM dapat bertahan pada krisis 1998. Namun, pada krisis pandemi kali ini, UMKM jatuh tersungkur. Tentu, hal ini karena perbedaan akar krisis. Pasalnya, krisis yang disebabkan pandemi Covid-19 membuat mobilitas masyarakat terbatas, sehingga berdampak terhadap kegiatan usaha, termasuk UMKM

Sebagaimana diketahui bahwa UMKM berperan strategis dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional meski di tengah pande mi Covid- 19. UMKM berkontribusi lebih dari 60% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 96% tenaga kerja. Lagi-lagi, UMKM menunjukkan ketangguhannya.

Menimbang peran UMKM yang begitu besar, berbagai stimulus digelontorkan pemerintah agar UMKM dapat survive hingga pada akhirnya dapat bangkit kembali dan melakukan ekspansi. Salah satunya dengan memberikan bantuan dana bergulir di berbagai ke menterian, bantuan dana dari BUMN, dan memberikan kredit ber subsidi (Kredit Usaha Rakyat/KUR).

Stimulus UMKM

Kredit perbankan meningkat sebesar 0,5% (year on year) pada Juni 2021, meneruskan tren perbaikan selama beberapa bulan terakhir seiring berjalannya stimulus pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan otoritas terkait. Ragam strategi dan langkah dijalankan demi membantu sang pahlawan ekonomi.

Selaras dengan kebijakan yang sudah dijalankan, Bank Indonesia juga berkontribusi mendorong tum buh kembang UMKM melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 Tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, yang dikeluarkan Bank Indonesia pada 31 Agustus 2021. Peraturan ini bertujuan mendorong inklusi keuangan/ perbankan yang ditandai oleh meningkatnya penyaluran kredit kepada UMKM oleh perbankan.

Melalui PBI Nomor 23/13/ PBI/2021, BI mewajibkan bank memenuhi Rasio Pembiayaan In klusif Makroprudensial dengan ke tentuan paling sedikit 20% pada posisi akhir Juni 2022 dan posisi akhir Desember 2022, lalu paling se dikit sebesar 25% pada posisi akhir Juni 2023 dan posisi akhir De sember 2023; dan paling sedikit se besar 30% sejak posisi akhir Juni 2024.

Untuk memenuhi rasio tersebut, bank memberikan pembiayaan inklusif berupa pemberian kredit (kepada UMKM, Koperasi dan atau PBR) atau pembiayaan secara langsung dan rantai pasok; pemberian kredit atau pembiayaan melalui lembaga jasa keuangan, badan layanan umum, dan/atau badan usa ha; pembelian SBPI; dan/atau pembiayaan inklusif lainnya yang ditetapkan oleh BI.

BI juga menerapkan sanksi kepadabank apabila tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut, seperti sanksi administratif berupa teguran dan denda. BI telah menunjukkan itikad baiknya dalam mendorong tumbuh kembangnya UMKM di Indonesia. Hanya saja, sejauhmana aturan ini akan efektif?

Kelemahan

Sesuai PBI Nomor 23/13/ PBI/2021, untuk memenuhi rasio sesuai ketentuan tersebut, bank-bank bisa memilih melakukan pem belian SBPI yang diharapkan uangnya bisa menjadi sumber pendanaan bergulir untuk pembiayaan inklusif. Hal ini hanya me ngatasi permasalahan di sisi pena waran, dengan asumsi permasalahan pokok berupa rendahnya inklusi keuangan terletak di sisi penawaran.

Padahal kita ketahui permasalahan inklusi keuangan tidak semata dari sisi penawaran. Persoalan di sisi permintaan juga sangat besar. Rendahnya inklusi keuangan tidak bisa lepas dari rendahnya literasi keuangan masyarakat. Hal ini kemudian menyebabkan usaha mikro dan ultramikro tidak bankable. Sehinga permintaan kredit pun juga menjadi rendah.

PBI Nomor 23/13/PBI/2021 tidak mempertimbangkan aspek karakteristik bisnis, level kom petensi, infrastruktur, dan risk appetite ma sing-masing individu bank yang tidak seluruhnya dapat me nyalurkan kredit pada segmen UMKM. Implementasi PBI No 23/13/ PBI/2021, terutama pengenaan sanksi finansial, akan menambah beban biaya bagi bank. Saat ini perbankan mengalami tekanan profitabilitas dan potensi peningkatan risiko dari kondisi debitur yang be lum pulih sepenuhnya.

Dengan argumentasi di atas, kebijakan BI mendorong inkluasi keuangan dengan mewajibkan bank memenuhi rasio pembiayaan inklusi makro prudensial tidak akan cukup efektif memperbaiki tingkat inklusi keuangan di Indonesia. Tidak ada jaminan bahwa pencapaian Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial sebesar 30% pada Juni 2024 mencerminkan inklusi keuangan Indonesia yang jauh lebih baik.

Opsi Lain

Perlu dipertimbangkan opsi lain untuk mendorong penyaluran kredit UMKM. BI dapat memberikan insentif dan disinsentif dari monetary tools bank sentral. Untuk bank yang mencapai penyaluran kredit UMKM, BI memberikan insentif penurunan Giro Wajib Mi nimum (GWM). Sedangkan yang tidak mencapai, dikenakan disinsentif kenaikan GWM.

Adapun untuk penyaluran kreditnya sendiri bisa diperluas tidak hanya memperhitungkan pembiaya a n langsung, tetapi juga mekanisme rantai pasok. Penyaluran kredit kepada usaha-usaha yang ber peran dalam rantai pasok UMKM diperhitungkan sebagai kredit UMKM.