Core Indonesia

Quarterly Review 2018: Mitigasi Dini untuk Mencapai Target Pertumbuhan

Pada CORE Economic Outlook yang diselenggarakan pada November tahun lalu, CORE memprediksi bahwa ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh 5,1 hingga 5,2% di tahun 2018 ini. Prediksi CORE tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun 2017 yang hanya mencapai 5,07%, namun di bawah target pemerintah sebesar 5,4%.

Meskipun perkiraan di tahun ini lebih tinggi dibanding tahun lalu, untuk bisa mencapai pertumbuhan 5,1-5,2% tersebut, tantangan yang dihadapi besar. Salah satu di antaranya adalah potensi pelemahan kinerja ekspor-impor yang mengakibatkan melemahnya kontribusi net-ekspor terhadap pertumbuhan PDB tahun ini. Padahal, net-ekspor inilah yang berperan sangat besar dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap di level 5% di tahun 2017, pada saat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melemah hingga di bawah 5%.

Melihat perkembangan ekonomi global dan domestik selama tiga bulan pertama tahun ini, CORE Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama masih berada pada kisaran 5%. Apabila tidak ada perbaikan kebijakan secara signifikan, pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun akan sulit untuk mencapai 5,2%.

  1. Konsumsi Swasta Belum Pulih

Konsumsi swasta pada triwulan pertama 2018 belum menunjukkan indikasi pemulihan. Hal ini terlihat antaranya dari komposisi pengeluaran rumah tangga, dimana proporsi pendapatan yang dibelanjakan masih cenderung menurun, sebaliknya proporsi untuk tabungan meningkat. Proporsi pendapatan rumah tangga untuk tabungan selama triwulan pertama tahun ini sebesar 21,6%, lebih tinggi dibanding tahun lalu yang sebesar 19%. Sementara proporsi pendapatan yang dibelanjakan menurun dari 65,2% di triwulan pertama 2017 menjadi 64,1% di triwulan pertama 2018.

Demikian pula jika dilihat dari indikator penjualan kendaraan bermotor dan barang-barang ritel. Meskipun penjualan sepeda motor pada periode Januari hingga Maret tumbuh dari -6,84% tahun lalu menjadi 3,99% tahun ini, pertumbuhan penjualan mobil pada periode yang sama melambat dari 6,15% tahun lalu menjadi 2,88% tahun ini. Pertumbuhan penjualan ritel selama Januari hingga Februari 2018 malah terkontraksi -0,38%, pada pada periode yang sama tahun lalu masih tumbuh 5,03%.

Menghadapi kondisi ini, CORE telah memperingatkan pentingnya pemerintah untuk mendorong kebijakan yang dapat meningkatkan daya beli dan memberikan stimulus terhadap belanja masyarakat, atau setidaknya tidak menerapkan kebijakan yang justru berpotensi menekan tingkat konsumsi. Di tahun ini, pemerintah memang sudah mulai merespon dengan program-program terkait peningkatan daya beli golongan masyarakat berpenghasilan bawah, seperti meningkatkan anggaran program bantuan sosial, mempertahankan tarif dasar listrik, serta meluncurkan program padat karya tunai dalam pembangunan infrastruktur desa.

Indikasi perbaikan daya beli pada masyarakat bawah terlihat dari peningkatan upah riil buruh tani dan pembantu rumah tangga yang masing-masing tumbuh sebesar 0,92% dan 2,18% (yoy) selama triwulan pertama 2018. Meskipun demikian, upah riil buruh bangunan masih terus menurun sebesar 0,89% (yoy). NTP selama triwulan pertama 2018 juga meningkat sebesar 1,99% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang turun -1,60%.

Sayangnya, kebijakan tersebut baru dijalankan menjelang pentas politik tahun 2019, sehingga sangat bisa dimaklumi jika banyak kalangan yang menganggap langkah tersebut tidak lebih dari sekedar kebijakan populis untuk mendulang suara pada pemilu mendatang. Terlebih lagi jika pembagian bantuan sosial itu dilakukan bersamaan dengan kunjungan pemimpin negara ke daerah. Selama triwulan pertama 2018, realisasi belanja bantuan sosial memang tumbuh sangat pesat hingga 88% dibanding tahun lalu, berkebalikan dengan realisasi belanja modal yang justru turun 18%.

Di samping itu, faktor penting dalam perbaikan daya beli masyarakat adalah tingkat inflasi yang terkendali. Meskipun selama dua tahun sebelumnya pemerintah berhasil menjaga tingkat inflasi pada kisaran 3 – 3,5%, inflasi berpotensi meningkat pada tahun ini. Inflasi dalam triwulan pertama tahun ini memang lebih rendah dibanding triwulan pertama tahun lalu (0,99% berbanding 1,19%), tetapi pada triwulan-triwulan berikutnya inflasi berpotensi lebih tinggi karena dorongan inflasi volatile food maupun administered prices, khususnya kenaikan harga BBM yang dilepas ke pasar. Inflasi volatile food saja, pada triwulan pertama tahun 2018 sudah mencapai 2,62%, jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan pertama tahun lalu yang mengalami deflasi 0,31%.

Meskipun pendapatan riil masyarakat berpendapatan rendah cenderung meningkat sebagai akibat digalakkannya program-program bantuan sosial, kelompok menengah atas masih cenderung menahan belanja mereka. Dari indikator penjualan kendaraan bermotor, penjualan mobil justru melemah dari 6,15% pada Q1 2017 menjadi 2,88% pada Q1 2018. Demikian pula penjualan ritel barang-barang tersier seperti suku cadang dan aksesoris yang melambat sebesar 7,3% (ytd) dibanding tahun lalu yang tumbuh 13,8% (ytd). Sementara peralatan informasi dan komunikasi justru mengalami penurunan drastis sebesar -10,4% (ytd) dibanding tahun lalu yang tumbuh 9,3% (ytd).

Dari survei indeks ekspektasi konsumen (IEK) oleh Bank Indonesia, rata-rata IEK untuk golongan pengeluaran di atas Rp 5 juta/bulan pun tumbuh lebih lambat, dari 6,2% pada Q1 2017 menjadi 1,9% pada Q1 2018, jauh di bawah rata-rata pertumbuhan IEK untuk golongan pengeluaran Rp 1 – 2 juta/bulan yang meningkat dari 4,2% menjadi 10,5% pada periode yang sama.

Itu sebabnya, menjaga daya beli masyarakat bawah melalui program-program bantuan sosial saja tidak cukup. Pemerintah harus juga memberikan sinyal yang positif untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi dan prospeknya ke depan, khususnya masyarakat golongan menengah atas, sehingga mereka lebih terdorong untuk berbelanja. Apalagi masyarakat menengah dan atas ini memberikan kontribusi 83% terhadap total konsumsi rumah tangga. Salah satu yang langkah krusial adalah kebijakan perpajakan yang ditujukan pada wajib pajak yang notabene adalah masyarakat golongan menengah atas. Kebijakan perpajakan memang menjadi sorotan penting terlebih mengingat target penerimaan pajak di tahun ini yang meningkat sangat signifikan. Upaya pemerintah mengejar target penerimaan yang tinggi jangan sampai menjadi momok bagi masyarakat dan pelaku usaha yang berimbas pada pola belanjanya.

  1. Kontribusi Net-Ekspor Turun Drastis

Pada akhir tahun lalu, CORE sudah memprediksikan bahwa pertumbuhan net-ekspor pada tahun ini akan mengalami koreksi cukup tajam sejalan dengan melemahnya harga komoditas andalan ekspor Indonesia dan peningkatan harga minyak dunia. Hal ini terbukti pada triwulan pertama tahun ini, dimana surplus perdagangan selama Januari hingga Maret hanya mencapai USD 0,3 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai USD 4,1 miliar.

Anjloknya surplus perdagangan pada triwulan pertama tahun ini setidaknya didorong oleh dua faktor, yakni pelebaran defisit migas dan penyempitan surplus nonmigas. Pelebaran defisit migas terjadi akibat kenaikan harga minyak dunia yang mendorong peningkatan nilai impor negara-negara net-importir minyak, seperti Indonesia. Pelebaran defisit migas sebenarnya sudah terjadi sejak bulan Februari 2016, sejalan dengan harga minyak yang mulai bergerak naik dari USD 30/barel pada Januari 2016 menjadi USD 64/barel pada Maret 2018. Akibatnya, defisit migas yang pada Q1 2016 hanya USD 0,4 miliar meningkat 575% menjadi USD 2,7 miliar pada Q1 2018. Beberapa triwulan ke depan defisit migas masih cenderung melebar karena harga minyak dunia yang masih berpotensi meningkat.

Dari sisi non-migas, pada triwulan pertama surplus perdagangan menyusut menjadi USD 3,0 miliar dari USD 6,7 miliar pada triwulan pertama tahun lalu. Penyusutan ini ternyata tidak banyak didorong oleh pelemahan harga komoditas, karena harga komoditas pada triwulan pertama, khususnya komoditas tambang masih cenderung menguat. Ekspor komoditas tambang meningkat dari 32% pada triwulan pertama 2017 menjadi 42% di triwulan pertama 2018. Masalahnya, ekspor manufaktur tumbuh melambat dari 20% di triwulan pertama 2017 menjadi hanya 4,6% di tahun ini. Ekspor pertanian malah mengalami kontraksi -9,4% di Q1 tahun ini, padahal pada Q1 2017 tumbuh 23%. Akibatnya secara keseluruhan, pertumbuhan ekspor non-migas melambat dari 22% pada Q1 2017 menjadi hanya 10% pada Q1 2018.

Yang lebih mengkhawatirkan, pada saat pertumbuhan ekspor non-migas melemah, impor non-migas justru mengalami peningkatan sangat tajam, dari 7% pada Q1 2017 menjadi 24% pada Q1 2018Peningkatan impor non-migas ini ternyata bukan dipicu oleh impor bahan baku dan bahan penolong, tetapi barang konsumsi dan barang modal. Impor barang konsumsi naik dari 2,7% di triwulan pertama 2017 menjadi 21,8% pada triwulan pertama 2018. Pada periode yang sama, impor barang modal pun naik dari 6,3% menjadi 27,5%.

Meningkatnya proteksionisme khususnya oleh negara-negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, berpotensi memperlambat pertumbuhan perdagangan dunia, dan mempersempit peluang negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk meningkatkan penetrasi ekspor. Ekspor komoditas sawit yang menjadi andalan utama Indonesia, khususnya, menghadapi berbagai ancaman proteksi dari mitra dagang utama, khususnya Uni Eropa, AS, bahkan negara importir terbesar India.

Meningkatnya proteksionisme dan juga perang dagang yang terjadi saat ini mesti direspon oleh pemerintah dengan mempercepat diversifikasi tujuan ekspor. Hingga saat ini pertumbuhan ekspor ke pasar non-tradisional masih jauh lebih rendah dibanding pasar tradisional. Pada triwulan pertama tahun ini, ekspor ke negara-negara tujuan utama (ASEAN, Tiongkok, AS, Jepang, India, Uni Eropa) mampu tumbuh 12,3%, namun ekspor ke negara-negara non-tradisional hanya tumbuh 1,4%.

  1. Potensi Peningkatan Investasi Sektor Primer dan Manufaktur

Dari sisi investasi, pembangunan infrastruktur yang merupakan prioritas pemerintah masih menjadi kontributor penting tumbuhnya investasi di tahun ini. Namun, pertumbuhan investasi di sektor konstruksi berpotensi melemah sejalan dengan rencana pemerintah untuk membatalkan sejumlah proyek strategis nasional, khususnya yang hingga saat ini belum terealisasi karena banyaknya kendala yang dihadapi di lapangan. Disamping itu, beberapa masalah yang menggeluti proyek infrastruktur saat ini, seperti banyaknya kasus kecelakaan dan kerusakan konstruksi, berpotensi menekan laju investasi di sektor ini.

Di sektor manufaktur, investasi yang menurun sepanjang tahun lalu berpotensi meningkat marjinal di tahun ini. Indikasi ini terlihat dari peningkatan Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur dari Nikkei maupun peningkatan Prompt Manufacture Index (PMI) dari Bank Indonesia. PMI Nikkei pada Q1 2018 mencapai 50,7, naik tipis dibandingkan dengan Q1 2017 yang mencapai 50,1. Sedangkan PMI BI pada Q1 2018 naik 4,02 poin dari Q1 2017 menjadi 51,95. Nilai indeks PMI di atas 50 menujukkan adanya ekspansi produksi yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang melihat adanya perbaikan permintaan. Hal ini akan mendorong investasi di sektor manufaktur yang lebih baik di Q1 2018 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Selain di sektor manufaktur, peningkatan realisasi investasi juga terjadi pada sektor primer, seperti pertanian serta minyak dan gas. Hal ini terjadi karena adanya deregulasi peraturan pemerintah di bawah Kementerian Pertanian maupun ESDM terkait dengan perizinan, pelayanan dan kemudahan dalam berinvestasi. Selama tahun 2018, Kementerian ESDM telah memangkas 18 regulasi dan 23 sertifikasi/perizinan/rekomendasi di sektor migas. Peningkatan investasi hulu migas pada Q1 2018 pun mengalami peningkatan sebesar 26,3% (yoy). Deregulasi di sektor pertanian dengan dilakukannya penyesuaian dan pencabutan regulasi sebanyak 241 dan 50 peraturan/keputusan Menteri Pertanian diperkirakan juga akan mendorong investasi di sektor ini. Selama periode 2013-2017, tren nilai investasi pertanian mengalami kenaikan rata-rata sebesar 56,7% untuk PMA dan 14,2% PMDN per tahunnya.

Indikasi peningkatan investasi non-bangunan terlihat dari pertumbuhan impor barang modal yang mengalami peningkatan pada Q1 2018 sebesar 22% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pada Q1 2017 yang hanya tumbuh sebesar 6%. Hal ini diperkirakan akan memberikan dampak positif dalam peningkatan kapasitas produksi yang dapat mendorong perekonomian.

  1. Belanja Bansos Naik Pesat, Belanja Modal Anjlok

Untuk meningkatkan efektivitas belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah seharusnya mempercepat realisasi belanja di awal tahun, dan bukan menumpuk realisasi belanja tersebut pada bulan-bulan terakhir tahun anggaran. Namun, data menunjukkan bahwa realisasi belanja pemerintah pada triwulan I tahun 2018 belum seperti yang diharapkan.

Realisasi belanja modal pemerintah selama triwulan I tahun 2018 mengalami penurunan. Pertumbuhan tahunan realisasi belanja modal pada triwulan I 2018 turun 18 %, dari Rp 11,18 triliun pada triwulan I tahun 2017 menjadi Rp 9,7 triliun pada triwulan I tahun 2018. Begitu pula, dibandingkan dengan target, pencapaiannya hanya 4,8 % dari target belanja modal dalam APBN 2018, lebih rendah dibandingkan capaian realisasi belanja modal pada triwulan I tahun 2106 dan 2017 yang masing-masing mencapai 5,1 dan 5,2 %.

Realisasi belanja pegawai dan belanja barang selama triwulan I tahun 2018 memang tumbuh positif sebesar 6%, lebih tinggi dibanding triwulan yang sama tahun 2017 yang mencapai -27%. Namun, jika dibandingkan dengan target, realisasi tersebut hanya 13,3% dari total target belanja pegawai dan barang di tahun 2018lebih rendah dibandingkan capaian realisasi pada triwulan I tahun 2016 dan 2017 yang masing-masing mencapai 14,5% dan 13,6%.

Lain halnya dengan realisasi belanja bantuan sosial yang justru meningkat drastis pada triwulan I tahun 2018, hingga mencapai 88%, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada triwulan I 2017 dan masing-masing hanya mencapai 3%.

Untuk transfer ke pemerintah daerah, realisasinya pada triwulan pertama tahun ini pun hanya tumbuh -10%, lebih lambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 9%. Di sisi lain, simpanan pemerintah daerah di bank umum justru meningkat 1% sampai dengan Februari 2018, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada kuartal yang sama tahun lalu -5%. Hal ini mengindikasikan pemerintah daerah masih cenderung menahan belanja. Meski demikian, dengan adanya momen pilkada serentak yang akan berlangsung pada Juni 2018, kami prediksi simpanan pemda di bank umum akan menurun secara bertahap dikuti belanja daerah yang lebih baik.

Secara keseluruhan, belanja pemerintah pada triwulan I 2018 mengalami pertumbuhan sebesar 4,9%, lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang mencapai 2,3%, dengan nilai Rp 419 triliun atau 18,9% dari target APBN 2018.

Meskipun pertumbuhan realisasi belanja pemerintah pusat membaik, kinerja penerimaan negara selama triwulan I tahun ini justru lebih buruk. Tanpa disokong penerimaan dari program tax amnesty seperti tahun lalu, pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan sampai dengan kuartal satu 2018 hanya mencapai 11%, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai 16%. Begitu pula penerimaan non-pajak yang sampai dengan kuartal satu 2018 yang tumbuh 24%, juga lebih rendah dibandingkan pertumbuhan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 37%.

Dengan capaian penerimaan yang buruk di triwulan I ini, kemungkinan untuk dapat mencapai target penerimaan APBN tahun ini menjadi semakin kecil. Pasalnya, untuk mencapai target penerimaan pajak tahun ini yang meningkat 8% dibandingkan target tahun lalu, dibutuhkan pertumbuhan realisasi penerimaan pajak hingga 20%. Ini jelas bukan hal yang mudah mengingat dalam dua tahun terakhir, rata-rata realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 4%. Jika pencapaian target ini dipaksakan, ini dapat berdampak pada perekonomian secara keseluruhan khususnya konsumsi masyarakat dan pelaku usaha yang menjadi target pajak. Padahal dalam kondisi pertumbuhan konsumsi swasta yang masih tertekan hingga triwulan I tahun ini, kebijakan perpajakan semestinya lebih akomodatif, bukannya agresif.

Untuk penerimaan non-pajak, harapan ada pada potensi membaiknya harga minyak dunia. Sampai dengan bulan Maret 2018 harga rata-rata minyak dunia yang mencapai 64,17 USD/barel, meningkat dibandingkan harga pada Maret tahun lalu yang mencapai 50,90 USD/barel. Meski demikian perlu diingat harga minyak dunia sangat berfluktuasi dan cenderung sensitif terhadap sentimen politik dan ekonomi global.

Sementara itu, pembiayaan fiskal  sangat rentan terhadap sudden capital outflow, hal ini tidak terlepas dari cukup tingginya kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN). Pada bulan Februari 2018   investor asing melepas kepemilikan SUN sering dengan sinyal kenaikan Federal Fund Rate (FFR). Peningkatan FFR juga berimplikasi terhadap naiknya yield surat utang AS, dari 1 Januari 2018 sampai dengan 19 April 2018 yield surat utang AS telah naik 46,7 basis poin. Jika The Fed kembali menaikan FFR selama 2018, bisa dipastikan yield surat utang AS berpotensi akan meningkat. Peningkatan ini akan diikuti meningkatnya yield surat utang negara berkembang termasuk Indonesia. Sejauh ini Yield surat utang Indonesia telah mencapai 6,6%, salah satu yang terbesar diantara negara peer-country.

Peningkatan yield tentu akan berpengaruh pada resiko peningkatan pembayaran bunga utang pada ruang belanja fiskal, apalagi jika penerimaan pajak meleset dari target. Saat ini saja rata-rata belanja pembayaran bunga utang menyumbang 29% terhadap total belanja pemerintah pusat. Rata-rata share pembayaran bunga utang selama tiga tahun terakhir mencapai 29%, jauh di bawah rata-rata share realisasi belanja modal dan bantuan sosial yang hanya mencapai 5% dan 6%.

  1. Tantangan Stabilisasi Moneter di Tengah Meningkatnya Tekanan Eksternal

Kondisi moneter dan perbankan selama triwulan pertama tahun 2018 direfleksikan oleh perkembangan suku bunga acuan, nilai tukar dan kredit perbankan. Sepanjang tiga bulan pertama, Bank Indonesia masih cukup yakin menahan suku bunga acuan dengan didasarkan pada fundamental ekonomi nasional masih sangat terjaga. Khususnya pada indikator inflasi yang bergerak stabil di bawah 3,5%, meskipun nilai tukar Rupiah cukup volatile di sekitar 13.300 hingga 13.800 per USD.

Optimisme Bank Indonesia terhadap fundamental ekonomi nasional sangat terlihat di bulan Maret yaitu dengan menahan suku bunga acuan pada level 4,25% di saat The Fed menaikkan Fed Fund Rate sebesar 25 bps menjadi 1,5%. Tidak ada kekhawatiran akan berkurangnya interest rate differential akan mendorong capital outflows dan mengancam nilai tukar rupiah. Bank Indonesia sekali lagi menunjukkan keyakinannya akan kekuatan fundamental ekonomi nasional.

Seiring ditahannya suku bunga acuan Bank Indonesia pada level 4,25%, laju penurunan suku bunga simpanan dan pinjaman mulai melambat. Perbankan nampaknya dapat membaca bahwa Bank Indonesia sudah tidak punya ruang untuk menurunkan suku bunga sehingga perbankan sudah mulai ancang-ancang untuk menaikkan suku bunga. Pada bulan Februari, suku bunga simpanan tertahan di level 6,26% dan suku bunga pinjaman di level 11,24%.

Meskipun suku bunga pinjaman sudah cukup rendah, turun 43 bps selama enam bulan terakhir, pertumbuhan kredit belum menampakkan lonjakan. Setelah hanya tumbuh sekitar 8% pada tahun lalu, kredit perbankan sampai Februari tahun ini hanya tumbuh 8,3%.  Selain masih tertahan oleh tingginya NPL khususnya pada sektor pertambangan (6,20%), akomodasi dan makanan minuman (5,64%), konstruksi (5,1%), serta perdagangan ritel (4,45%), penyaluran kredit perbankan juga terkendala oleh terbatasnya permintaan kredit dan terbatasnya loanable fund, terutama pada bank-bank kecil.

Hingga akhir 2018, kebijakan moneter diperkirakan akan lebih diwarnai oleh upaya menahan kenaikan suku bunga. Setelah menaikkan FFR pada bulan Maret 2018, the Fed diyakini masih menaikkan suku bunga acuan tiga kali lagi dan diperkirakan lebih besar. Kenaikan suku bunga acuan FFR diperkirakan akan direspon secara hati-hati oleh Bank Indonesia dengan tetap mengupayakan suku bunga rendah guna mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan kestabilan makro.

Ditahannya suku bunga dalam negeri tetap rendah sementara suku bunga di luar negeri merangkak naik menyiratkan semakin tipisnya interest rate differentialKondisi ini di tengah terus membaiknya perekonomian AS akan dapat menyebabkan capital outflow yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada nilai tukar. Nilai tukar Rupiah pada akhirnya akan sangat bergantung kepada kemampuan Bank Indonesia memainkan instrumennya, termasuk instrumen intervensi memanfaatkan cadangan devisa yang tersedia cukup besar. Kegagalan Bank Indonesia mempertahankan ekspektasi nilai tukar dapat memicu kepanikan yang berujung kepada krisis nilai tukar. Bank Indonesia tentunya sangat paham akan risiko ini.

Upaya Bank Indonesia menahan suku bunga acuan untuk tetap rendah guna memacu pertumbuhan ekonomi patut diapresiasi. Namun demikian keberhasilan upaya Bank Indonesia tersebut akan bergantung kepada laju pertumbuhan kredit. Walaupun Bank Indonesia berupaya mempertahankan suku bunga acuan tetap rendah, laju pertumbuhan kredit pada tahun 2018 diperkirakan tidak akan mengalami lonjakan yang signifikan, yaitu disekitar 11,0%-11,5%. Pertumbuhan kredit diperkirakan cukup besar di kelompok bank BUKU IV dan III yang memiliki pertumbuhan DPK dan loanable fund yang cukup tinggi. Sementara bank-bank BUKU I dan II yang kesulitan memupuk DPK dan tidak memiliki loanable fund yang cukup akan tetap mengalami keterbatasan pertumbuhan kredit. Bagi bank-bank BUKU I dan II pelonggaran likuiditas melalui pasar keuangan tidak akan banyak membantu kemampuan mereka menyalurkan kredit.

Share :